Senin, 13 Desember 2010

LAWAN KENAIKAN HARGA BBM, TOLAK PENGALIHAN PREMIUM KE PERTAMAX

Sikap politik tentang Pelarangan penggunaan BBM bersubsidi untuk rakyat


Rencana pemerintah SBY mengalihkan penggunaan BBM permium dengan pertamax pada awal 2011 jelas adalah strategi untuk menaikkan harga BBM. Adapun harga premium saat ini sebesar Rp. 4500 sedangkan harga Pertamax sebesar Rp. 6900. Itu berarti pemerintahan SBY hendak menaikkan harga BBM yang menjadi kebutuhan dasar rakyat sebesar 51 %. Itu juga berarti bahwa selama masa pemerintahannya SBY telah menaikkan harga premium sebesar 283 % (2004 -2010).

Kebijakan ini adalah bagian dari konsep liberalisasi energi mulai dari hulu (eksplorasi & eksploitasi migas) hingga hilir (distribusi dan perdagangan migas). Kebijakan ini akan semakin mendorong dominasi modal asing di sektor hilir/perdagangan BBM. Selama ini Pom Pom bensin milik Shell, Chevron, Exxon, Total, BP, Petronas, sulit bersaing dan bahkan terancam tutup dengan tingkat harga premium Pertamina. Kebijakan SBY mengalihkan premium ke pertamax sebenarnya adalah dukungan langsung terhadap perusahaan-perusahaan asing dalam rangka menggantikan peran pertamina dalam perdagangan ritel BBM. Kebijakan SBY akan semakin melengkapi penguasaan modal asing di sektor energi secara keseluruhan baik di hulu maupu di hilir. Saat ini di sektor hulu 85 % kekayaan minyak Indonesia dikuasai modal asing.

Kebijakan menaikkan harga energi merupakan bagian dari komitmen SBY terhadap tuan-tuan modal internasionalnya dalam hal ini Amerika Serikat (AS), IMF dan World Bank. Salah satu rekomendasi pertemuan G-20 Korea November 2010 lalu (pertemuan negara dengan 85 % PDB global) adalah mendorong anggota G20 untuk mencabut subsidi BBM sebagai bagian dari strategi mengatasi climate change dengan mengurangi penggunaan energi. Sikap penurut SBY dimotifasi oleh harapan memperoleh bantuan utang dari negara maju dan lembaga keuangan internasional untuk mengisi kantong APBN. Sementara APBN sendiri semakin tidak efisien karena tergerus oleh korupsi yang dilakukan jajaran pemerintahan SBY.

Kebijakan mencabut subsidi BBM merupakan strategi memposisikan APBN mengabdi sepenuhnya pada kepentingan nekolim. Bayangkan jumlah kewajiban membayar utang pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah dalam APBN mencapai Rp 97 trilun (2010), bunga hutang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 77,43 trilun (juga mayoritas diterima asing). Jumlah pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang DN dan LN pemerintah mencapai Rp 174,43 triliun. Nilai tersebut melebihi seluruh penerimaan sumber daya alam hasil tambang, migas dan ekploitasi SDA lainnya yang hanya sebesar Rp 111,45 triliun (data pokok APBN 2010). Fakta tersebut berarti asing mendapatkan semua manfaat dari ekploitasi kekayaan alam negeri ini, dapat hasil keruk dan mendapatkan kembali nilai bagi hasil dan royalti yang diserahkan sebelumnya kepada negara melalui bunga utang.

Kebijakan mengalihakan premium ke pertamax merupakan bagian dari strategi untuk mengancurkan usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat dan menggantikannnya dengan usaha-usaha pihak asing sampai ke tingkat perdagangan eceran. Saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal (75 %). Sebagian besar masyarakat menggunakan transportasi pribadi, sepeda motor, mobil pribadi, untuk kebutuhan usaha. Hal ini terjadi karena kegagalan pemerintah membangun sarana transportasi massal dan murah. Sehingga kebijakan menaikkan harga BBM akan meningkatkan ongkos produksi usaha-usaha rakyat tersebut yang dapat berimplikasi semakin hancurnya usaha-usaha rakyat tersebut.

Kebijakan menaikkan harga BBM melalui pengalihan premium ke Pertamax menunjukkan bahwa pemerintahan SBY adalah agen nekolim dan harus mundur atas pelanggaran terhadap pancasila dan UUD 1945. ***

Pajak Rakyat Miskin VS Baiout, Subsidi dan Pengemplangan Pajak oleh Perusahaan Besar dan Korupsi para Pejabat Negara

PEMERINTAH SBY menampakkan dirinya sebagai pemerintahan yang tidak punya rasa malu. Ditengah tontonan korupsi pajak triliunan rupiah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan orang-orang kaya di Republik ini, pada saat yang sama pemerintah hendak memungut pajak dari orang-orang miskin, rumah-rumah makan skala kecil, warung tegal dan sejenisnya.

Tidak tanggung-tanggung pemerintah akan memungut pajak 10 persen (sebesar Rp 1000 untuk setiap belanja Rp. 10.000) dari rumah makan kecil tempat rakyat bertahan hidup dalam tekanan krisis, kemiskinan, pengangguran dan PHK. Nilai sebesar itu setara dengan seluruh keuntungan yang mungkin diraih oleh seluruh warteg-warteg. Itu berarti jerih payah dan keringat rakyat yang tertatih-tatih hendak disedot juga oleh penguasa negeri ini.

Padahal usaha-usaha rakyat tersebut setiap hari berada dibawah tekanan dan ancaman penggusuran dari pemerintah sendiri. Dalam rekaman publik, pemerintah SBY dan pemerintah DKI Jakarta dan juga pemerintah kota-kota besar lainnya di indonesia adalah pihak yang sangat agresif menggusur PKL, Warteg dll.

Kebijakan pemerintah SBY, Foke, kali ini semakin menunjukkan wataknya sebagai rezim yang anti rakyat. Selama ini pemerintah menekan kehidupan rakyat dengan berbagai pajak dan pungutan yang memberatkan yang menjadi sumber hancurnya usaha-usaha kecil. Satu sisi pemerintah menaikan cukai dan berbagai jenis pajak dan pungutan kepada rakyat, sementara pada sisi membebaskan pajak bagi perusahaan-perusahaan besar khususnya asing yang merampok sumber daya alam Indonesia.

Jika kita lihat komposisi penerimaan negara sebagaimana yang tercermin dalam APBN sebagian besar sumber penerimaan pemerintah berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat indonesia. Sebanyak 37,66 persen atau sekitar Rp 319.610 trilun berasal dari PPh, sebanyak 27,53 persen atau sebesar Rp 233.649 berasal dari PPN, sebayak 6,4 persen atau sebesar Rp 54,4 trilun berasal dari cukai. Sedangkan penerimaan sumber daya alam dari minyak bumi hanya 7,35 persen atau sebesar Rp 62,352 triliun, sebanyak 3,49 persen atau Rp 29,647 dari penerimaan ekploitasi gas. Secara keseluruhan penerimaan sumber daya alam hanya sebebsar 12,22 persen atau sebesar Rp 103,693 triliun (Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tahun 2009).

Padahal pemerintah telah memberikan fasilitas yang luar biasa besarnya terhadap pengusaha besar. Pengusaha asing boleh menguasai tanah dalam jangka waktu 95 tahun dalam skala yang sangat luas dan tidak ada batasannya. Pemerintah juga memberikan fasilitas keringanan pajak dalam berbagai bentuk seperti tax holiday, dan berbagai kemudahan dibidang perijinan dan lain sebagainya. Sementara pada saat yang sama usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat setiap hari berada dibawah ancaman perampasan tanah dan penggusuran.

Selain itu pemerintah memberikan banyak sekali dukungan finansial kepada perusahaan besar khususnya perusahaan asing melalui stimulus fiskal atau sejenis pajak yang ditanggung oleh pemerintah dan tidak perlu dibayarkan oleh pengusaha. Pemerintah juga memberikan kemudahan kepada pengusaha besar dalam memperoleh fasilitas kredit, dana liquiditas bagi perbankkan yang bangkrut. Ketika-usaha-usaha besar itu bangkrut baik karena korupsi maupun karena manajemen yang buruk, pemerintah yang menanggung seluruh utang-utang mereka. Kasus bailout Bank Century menunjukkan betapa pemerintah dan pengusaha secara bersama-sama melakukan kejahatan ekonomi dengan merampok uang rakyat.

ATAS DASAR hal di atas, kami menyatakan menolak tindakan pemerintah memeras rakyat kecil dan menuntut pengusutan tuntas korupsi dugaan pajak yang dilakukan oleh Newmont, Freeport, Chevron, Group Bakri, Bank Century, dan korupsi perusahaan besar lainnya yang mengeruk kekayaan alam Indonesia. Kami mendesak presiden SBY mundur karena tidak mampu memberantas korupsi, membiarkan kekayaan alam indonesia dirampok perusahaan asing dan bahkan telah menjadi bagian dari seluruh masalah korupsi di Republik ini.

Jakarta, 4 Desember 2010

Salamuddin Daeng
Juru Bicara Petisi 28/ Hp : 081805264989

KONSTITUSIONALITAS PENDAPAT PUBLIK tentang PENGGULINGAN SBY

Beberapa hari belakangan ini, kata “penggulingan” lebih sering terdengar dari biasanya, entah dari para pengkritik Presiden SBY atau dari politisi, baik yang oposan maupun yang sebiduk dengan Presiden SBY. Rupanya keadaan politik aktual memancing reaksi yang sedemikian dahsyat sehingga kata tersebut lebih sering muncul dari biasanya. Pendapat ini bukannya muncul tanpa alasan, selain karena momentum 1 tahun pelantikan Presiden SBY, pendapat ini muncul karena fakta menyeruak tentang kegagalan Presiden SBY dalam menjalankan amanahnya sebagai Presiden.
Kata “konstitusionalitas” adalah antonim dari kata “inskonstitusionalitas” yang menyatakan sebuah keadaan yang sesuai dengan norma yang termaktub dalam konstitusi. Beberapa tokoh publik ramai-ramai memberikan pendapat bahwa pendapat (publik) yang menyatakan Presiden SBY layak digulingkan adalah inkonstitusional perlu dikaji secara komparatif, terutama dengan perilaku SBY sebagai Presiden RI. Wacana penggulingan SBY sendiri telah menjelma menjadi entitas publik yang dapat memiliki sebuah implikasi konstitusional (dan juga implikasi inkonstitusional), tergantung dari bagaimana pendapat itu akan disalurkan. Bahwa SBY adalah Presiden sah yang dihasilkan melalui pemilu adalah benar, namun di sisi lain berpendapat tentang sesuatu adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi, juga benar adanya.
Konstitusi kita mengatur bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), dimana UUD mengamanatkan diadakannya sebuah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sendiri adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945). Kemudian UUD 1945 juga mengatur jika Presiden dapat diberhentikan dengan syarat-syarat tertentu (Pasal 7B UUD 1945). Lalu bagaimana jika Presiden telah terpilih secara sah melalui pemilu, tetapi melakukan pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara (DPR dan MK)? Atau jika kebijakan Presiden tidak berpedoman kepada UUD 1945? Atau jika Presiden terpilih mendapat penolakan secara masif di publik, meski kekuatan eksekutif dan legislatif berkongkalikong mempertahankannya, dan kemudian dianggap tindakan inkonstitusional?
Menyoal tentang pembangkangan terhadap putusan lembaga Negara, Presiden SBY setidaknya telah 2 kali melakukan hal tersebut. Pertama, adalah sesaat setelah keputusan Sidang Paripurna DPR yang menyatakan proses bailout Bank Century menyimpang, namun Presiden mengatakan bahwa kebijakan bailout Bank Century adalah tidak melanggar hukum. Kedua, mengenai Putusan MK yang menyatakan jabatan Hendarman Supandji adalah ilegal pasca dibacakannya putusan tersebut. Terhadap Putusan MK ini Presiden melalui Sekretariat Negara dan Staf Khusus bersikukuh masih menyatakan Hendarman sah sebagai Jaksa Agung (sebelum akhirnya mendapat tekanan publik). Dari 2 contoh diatas, sebenarnya Presiden telah layak dikualifikasi melakukan Pelanggaran Sumpah dan Janji sebagai Presiden sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUD 1945, dimana Sumpah dan janji Presiden adalah untuk memegang teguh UUD, yang juga mengandung arti mentaati seluruh keputusan lembaga Negara (termasuk DPR dan MK) yang lahir dan diberikan kewenangan oleh UUD 1945. Terhadap perbuatan ini, sebenarnya Presiden SBY telah melanggar Pasal 7A UUD 1945, sehingga layak diusulkan untuk diberhentikan. Tapi apalah daya, ternyata kekuatan DPR/legislatif ternyata tidak cukup berani menyatakan hal tersebut sebagai pelanggaran konstitusi/inkonstitusionalitas Presiden SBY.
Menyoal tentang kebijakan Presiden yang tidak berpedoman kepada UUD 1945, setidaknya terindikasi dalam pembentukan lembaga antah-berantah yang bernama Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) melalui Keppres Nomor 37 Tahun 2009. Selain tidak ada dalam struktur ketatanegaraan, lembaga ini juga rawan politisasi karena hanya menjadi lembaga citra Presiden SBY yang seolah-olah telah memberantas korupsi, dan sangat subyektif dalam memilih kasus yang akan diangkat karena Satgas PMH bertanggungjawab kepada Presiden melalui UKP4. Dalam sepak terjangnya Satgas juga telah melakukan diskriminasi dengan tidak menyentuh sama sekali dugaan pelanggaran hukum yang bersifat mafia yang melibatkan Presiden, Istana dan kroni-kroninya. Bahkan yang lebih parah, Satgas PMH juga gagal mengungkap alasan utama pembentukannya, yaitu Kriminalisasi KPK. Jadi dapat disimpulkan Presiden SBY telah melakukan pelanggaran UUD 1945 Pasal 17 Tentang Kementerian Negara, dimana untuk melaksanakan kewenangannya Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara. Pembentukan Satgas PMH melalui Keppres adalah bentuk inkonstitusionalitas nyata yang dilakukan Presiden SBY.
Selain inkonstitusionalitas diatas, Presiden SBY juga melakukan perbuatan tercela dengan memberikan Grasi kepada terpidana koruptor yang telah divonis pengadilan. Perbuatan tersebut memang konstitusional (karena sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat 1), namun masuk dalam kualifikasi tercela karena Presiden telah melakukan perbuatan sewenang-sewenang dengan menggunakan kekuasaannya untuk memberikan Grasi kepada orang yang tidak tepat. Bahkan atas perbuatan ini Presiden SBY layak mendapat julukan pro koruptor dan kontra terhadap pemberantasan korupsi. Atas perbuatan tercela tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, Presiden SBY sebenarnya juga layak untuk diusulkan diberhentikan. Namun apa mau dikata, lagi-lagi kartel eksekutif dan legislatif bersatu erat dalam satu kekuatan memicingkan mata atas fakta ini.
Atas keadaan diatas wajar jika kemudian muncul sebuah rasa ketidakpercayaan mendalam dan meluas yang dialami oleh rakyat Indonesia. Ketidakpercayaan itu kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan masif yang menilai Presiden SBY gagal memimpin dan layak untuk diganti (baca: digulingkan). Namun apa hendak dikata, jalan konstitusional telah ditutup rapat oleh DPR yang berdagang sapi dengan Pemerintah untuk menutup semua peluang pemakzulan, sehingga rasa ketidakpuasan ini muncul dalam banyak momentum dan di berbagai media sosial yang intinya menyatakan kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden SBY.
Pendapat untuk menggulingkan kemudian dicap sebagai gerakan inkonstitusional karena dianggap melanggar konstitusi (UUD 1945). Anehnya dugaan ini justru berkebalikan dengan amanah UUD Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Jadi atas pendapat publik yang menyatakan bahwa Presiden SBY layak digulingkan dikualifikasi sebagai langkah inkonstitusional oleh beberapa pihak, justru harus kita pertanyakan konstitusionalitasnya. Kemudian atas langkah tersebut, perlu kita kaji secara komparatif terhadap langkah-langkah Presiden SBY yang justru inkonstitusional seperti yang sudah tersebut diatas. Jadi siapa sebenarnya yang inkonstitusional?
Atas rumitnya keadaan diatas sebenarnya ada sebuah exit emergency yang konstitusional (karena diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 1 UUD 1945) dan konvensi ketatanegaraan yang terlah dicontohkan oleh Presiden Soeharto, yaitu dengan cara menyatakan berhenti. Mengapa jalan ini penting untuk dipilih? Pertama, bahwa langkah ini merupakan langkah preventif untuk mencegah agar kekecewaan rakyat tidak berubah menjadi gerakan yang destruktif seperti kejadian tahun 1998,1965, dan 1974; Kedua, langkah ini elegan, tidak mencederai demokrasi dan bersifat konstitusional; dan ketiga, agar agenda penyelamatan bangsa dari keterpurukan tidak terhambat oleh sifat ego mempertahankan kedudukan secara membabi buta, baik yang dilakukan Presiden sendiri maupun para penjilatnya.


Ahmad Suryono
Tim Hukum Petisi 28
ahmad.suryono@gmail.com (0812 2510 3500)

Senin, 30 Agustus 2010

MENCABUT AKAR KOLONIALISME

Salamuddin Daeng/
Peneliti Institute for Global Justice- IGJ / jubir petisi 28

Melihat kondisi karut marut ekonomi Indonesia saat ini, dikalangan rakyat berkembang pertanyaan apakah negara dalam arti sesungguhnya telah merdeka atau tidak ?. Untuk menjawab teka teki ini maka cara sederhana adalah dengan mengingat kembali kolonialisme baik teori dan prakteknya.
Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya. Kegiatan ini dimulai dengan konsolidasi dan penguasaan teritorial, diikuti dengan membentuk pemerintahan dan UU dan ditindaklanjuti dengan ekploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia sekaligus secara ekstrim. Diatas definisi inilah kita akan menjawab apakah Indonesia telah merdeka atau belum, dan cara mendirikan kembali Indonesia merdeka.
Bagaimana sesungguhnya kekuasaan pihak asing terhadap territorial Indonesia? Mari kita ambil salah-satu contoh penguasaan teritorial sebuah perusahaan tambang terkaya di dunia yaitu PT Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) di salah satu daerah di Indonesia. Dalam dokumen Kontrak Karya (KK) antara PT NNT dengan pemerintah Indonesia tahun 1986 disebutkan bahwa luas kontrak karya PT NNT adalah 1,127 juta hektar yang meliputi wilayah Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sementara luas wilayah Pulau Sumbawa adalah 1,438 juta hektar dan luas Pulau Lombok seluas 543 ribu hektar. Ini berarti bahwa luas kontrak karya Newmont setara dengan 57 % luas daratan NTB.
Di Indonesia luas konsesi yang diberikan negara kepada modal besar dalam bentuk kontrak karya pertambangan, kontrak production sharing migas, kontrak kerja batubara, HGU perkebunan, HPH kehutanan mencapai 175 juta hektar. Jumlah tersebut telah setara dengan 93 % luas daratan Indonesia. Sebagian besar konsesi dikuasai oleh modal asing. Kekuasaan modal besar dan negara-negara maju atas tanah di Indonesia lebih luas dibandingkan apa yang terjadi sepanjang masa Kolonial Belanda.
Demikian halnya dengan Investasi luar negeri yang masuk ke Indonesia saat ini tampaknya mengambil bentuk investasi kolonial. Investasi semacam ini dikerahkan oleh negara-negara maju dalam upaya pencarian sumber daya alam atau bahan mentah. Sangat jarang bahkan tidak pernah investasi luar negeri dilakukan untuk membangun industri. Investasi luar negeri menjadi bagian dari ekonomi negara asal modal. Hal ini menjadi ciri utama investasi AS, Jepang dan negara-negara Eropa hingga saat ini.
Perhatikan sebagian besar kegiatan eksploitasi migas dikuasasi modal asing, 85 persen gas diekspor. Seluruh kekayaan mineral dikontrol asing, 75 persen batubara diekspor, sebagian besar hasil perkebunan dialokasikan untuk pasar ekspor. Padahal didalam negeri terjadi kelangkaan sumber-sumber primer yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasional dan keperluan rakyat.
Wajar kemudian tidak ada keterkaitan antara investasi luar negeri dengan kesejahteraan rakyat. Pangalaman sejarah investasi luar negeri sector swasta dapat kita lihat dalam periode sejak tahun 1860 -1970. Pada masa itu, modal swasta luar negeri mendapatkan tempat yang penting dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Modal luar negeri ini terutama ditanamkan dalam perusahaan yang bekerja untuk ekspor dan juga dalam beberapa perusahaan yang berhubungan dengan ekspor seperti bank-bank, jalan-jalan, kereta api, pelayaran besar interinsulair, dan perusahaan gas listrik. Berhubungan dengan banyaknya penanaman modal luar negeri maka Indonesia termasuk ke dalam negara-negara debitur terbesar.
Dalam tahun 1938 Indonesia mengalami keadaan yang sama dengan yang dialami India, dan negara-negara besar Asia lainnya, serta Australia dan Argentina. Modal luar negeri yang ditanam di Indonesia lebih besar daripada Tiongkok, negara yang jauh lebih besar dan mempunyai penduduk lebih banyak. Besarnya modal luar negeri yang ditanam di Indonesia pada masa sebelum perang, ditaksir mencapai angka 5,2 milliard gulden dengan rincian 4 milliar ditanamkan pada perusahaan partikulir dan 1,2 milliar gulden terdiri dari utang pemerintah. Dimasa ini perhitungan investasi luar negeri dan utang luar negeri digabungkan. (Prajudi, 1970 : 142).
Jumlah investasi luar negeri pada masa sekarang jauh lebih besar, tidak hanya rempah-rempah, perkebunan, akan tetapi meliputi pertambangan, kehutanan dan perikanan. Tiga sector terakhir tidak banyak dikerjakan di masa kolonial Belanda. Selain itu modal luar negeri tidak hanya masuk dalam bentuk investasi, akan tetapi juga melalui utang luar negeri yang jumlahnya juga sangat besar. Saat ini posisi utang luar negeri pemerintah dan swasta sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar US$ 172.871 juta (Bank Indonesia, 2010).
Namun apa yang dperoleh bangsa ini dari modal luar negeri ?. Jumlah yang harus dibayarkan ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Untuk membayar bunga utang dan cicilan pokok utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai US$ 41.380 juta pertahun. Ditambah dengan cicilan pokok utang dalam negeri pemerintah Rp 39.210 miliar (2008) dan bunga utang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 70.857 miliar. Jumlah keseluruhan pembayaran hutang dan cicilan hutang pokok pemerintah dan swasta sebesar Rp. 482.487 miliar.
Bandingkan dengan kenaikan PDB berdasarkan harga konstan dalam tahun 2008-2009 yang nilainya hanya sebesar Rp 94.872 miliar. Peningkatan PDB yang merupakan hasil dari seluruh aktifitas ekonomi negara ini bahkan tidak cukup untuk membayar bunga hutang dan cicilan pokok.
Sementara itu, utang luar negeri Indonesia tidak hanya meninggalkan beban dari sisi nominal utang, akan tetapi implikasi ekonomi politiknya yang besar. Utang luar negeri umumnya dikerahkan untuk mengubah kebijakan ekonomi politik Indonesia agar menguntungkan korporasi multinasional dan negara-negara maju. Sebagai contoh penting adalah Undang Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). UU ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945 dikarenakan asas perlakuan yang sama yakni most favoured nation (MFN) dan National treatment yang merupakan preambule WTO dipaksa masuk dalam UU ini secara subversif.
Seluruh UU Indonesia yang berkaitan dengan keuangan, investasi, perdagangan, dan bahkan perlindungan sosial yang lahir sejak era reformasi sepenuhnya dibiayai oleh lembaga keuangan multilateral IMF, WB dan ADB. Ini berati bahwa penyelenggaran negara dan pemerintahan sepenuhnya dibawah kontrol asing dan menggunakan cara yang sama dengan kolonialisme.
Selain itu, subversi terhadap konstitusi tidak hanya dilakukan dengan cara meniru/mengadovsi prinsip yang disepakati dalam perjanjian international akan tetapi juga melalui proses ratifikasi. Sebagai contoh diratifikasinya ASEAN CHARTER melalui UU 38 Tahun 2008 tentang pengesahan Piagam ASEAN. Dalam pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa tujuan ASEAN adalah “menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu-lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh dan arus modal yang bebas. Piagam berisikan dasar-dasar bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas internal ASEAN dan dasar bagi perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) antara ASEAN dengan negara kawasan lainnya. Hak ekslusif kepada ASEAN dalam menyepakati perjanjian iternational mengkudeta konstitusi, parlemen dan hak demokrasi rakyat.
Melalui kedua cara itulah konstitusi dasar Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi pondamen kehidupan berbangsa bernegara dihancurleburkan. Asas-asasnya yang membentuk hubungan sosial, ekonomi, politik bangsa indonesia digantikan dengan paham-paham asing. Kekeluargaan digantikan dengan individualisme, kerjasama diubah menjadi kompetisi/persaingan yang saling mematikan, musyawarah mufakat diubah menjadi demokrasi mayoritas berkuasa atas minoritas.
Benar apa yang disampaikan presiden SBY dalam Pidato 17 Agustus 2010 yang mengatakan “Dalam sepuluh tahun pertama reformasi itu, kita telah melangkah jauh dalam melakukan transisi demokrasi, kita telah membongkar dan membangun, kita telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan dasar dalam kehidupan politik, sosial, hukum, dan ekonomi”.
Sebuah pengakuan terbuka dari Presiden Republik Indonesia dalam menghilangkan apa yang disebut SBY sebagai... de-bottlenecking atas peraturan perundangan yang menghambat imperialisme dan tidak mengejutkan bila ada yang mengatakan bahwa “ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau the quiet revolution..., dan segala upaya percepatan, debottlenecking ini akan sia-sia kalau kita tidak melakukan perubahan yang paling hakiki, perubahan cara-pandang”. Sebuah cara pandang baru tengah ditularkan yaitu kapitalisme neoliberalisme.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa negara Indonesia memang belum merdeka dalam pengertian yang sepenuhnya. Problem utamanya adalah tidak hanya karena semakin ganasnya kolonialisme dan imperialism (Nekolom) akan tetapi penyelewengan elite kekuasaan terhadap amanat penderitaan rakyat.
Kemerdekaan yang sesungguhnya mensyaratkan kita untuk mencabut kolonialisme sampai ke akar-akarnya. Itu berarti segala bentuk investasi kolonial, utang luar negeri yang imperialistik, adopsi dan ratifikasi peraturan dan hukum kaum imperialis harus dihentikan.
Tegasnya kemerdekaan itu adalah pelaksanaan atas mandate Sumpah Pemuda, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, asas Pancasila, dan tujuan bernegara sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945. Hanya dengan jalan demikian maka kita bangsa Indonesia benar–benar memiliki jembatan emas untuk mencapai kesejahteraan hidup seluruh rakyat, bukan jembatan lapuk warisan Kolonial.

Minggu, 22 Agustus 2010

MENDIRIKAN INDONESIA MERDEKA

Salamudin Daeng
Peneliti Institute Global Justice

Setiap bangsa membutuhkan waktu yang lama untuk dapat berdiri kokoh, AS membutuhkan waktu sedikitnya 70 tahun untuk menkonsolidasikan dirinya menjadi imperialis yang kuat. China yang selama ber abad-abad jatuh bangun dalam perang saudara, pemberontakan dan agresi bangsa lain, yang menjadikannya tumbuh sebagai bangsa yang merdeka dan besar besar seperti sekarang ini.

Bangsa Indonesia juga demikian, proses membangun bangsa ini telah lebih dari 100 tahun. Boedi Utomo1908, Sumpah Pemuda1928, Proklamasi kemerdekaan 1945, kudeta kontroversial 1965, penggulingan otoritarianisme 1998, adalah serangkain peristiwa penting yang menetukan jalannya sejarah Republik Indonesia menuju bangsa yang besar.

Pengalaman Indonesia selama 350 tahun dalam tekanan kolonialisme, tentu memberi pelajaran yang berharga. Proses menuju kemerdekaan yang memakan korban jutaan jiwa adalah pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Proses ini tidak akan berhenti, karena kemerdekaan adalah jembatan emas. Tidak peduli meskipun akan memakan banyak korban lagi.

Tidak ada yang lebih besar dari tugas meraih kemerdekaan, tidak ada pekerjaan yang lebih sulit dari membebaskan diri dari tekanan imperialisme, yang menjadi hukum sejarah manusia.Tidak semua orang suka dengan jalan sejarah yang sulit, tidak semua orang mau terlibat dalam perlawanan yang melelahkan.

Sebagian besar orang ingin damai, hidup tenang, tanpa konflik dan pertikaian, baik secara internal maupun terhadap pihak asing. Namun tidaklah demikian fakta sejarah. Suka atau tidak suka hidup adalah persaingan dan pertarungan. Jika tidak menyerang, maka patilah akan diserang. Jika tidak melawan pastilah akan tenggelam dalam lumpur pekat penindasan selama-lamanya.

Untuk dapat bertahan suatu bangsa harus membangun benteng yang kokoh, memperkuat palsafah hidup, mengkonsolidasikan segenap kekuatan internal dan unifikasi teritorialnya, membentuk negara diatas konstitusinya yang tangguh. Dengan cara demikian ia akan selamat gejolak dari dalam dan tekanan apapun yang datang dari luar.

Pengalaman bangsa-bangsa di Asia Tengah dapat menjadi contoh penting, betapa sulitnya mereka mempertahankan eksistensinya dari invasi imperialistik kapitalisme. Negara-negara Arab berada dibawah tekanan yang hebat hingga hari ini. Palestina terancam lenyap sebagai sebuah bangsa, Irak telah dibubarkan dengan paksa melalui agresi sekutu, Iran hendak dilenyapkan melalui propaganda hipokrit AS.

Demikian pula pengalam bangsa-bangsa di Afrika yang dimusanakan perlahan-lahan oleh perang saidara, penyakit dan kelaparan yang kesemuanya merupakan tanda sejarah bahwa untuk bertahan hidup maka suatu bangsa harus memperkuat diri dalam menghadapi ganasnya gelombang pertarungan. Jika tidak maka ia akan musnah.

Soekarno menggambarkan bahwa ganasnya gelombang sejarah adalah medan pertarungan menjadi bangsa yang besar. Ia mengatakan bahwa bangsa yang besar dikahirkan oleh dinamika politik yang hebat demikian pula sebaliknya bangsa yang kerdil dilahirkan oleh situasi yang serba nyaman dan adem ayem. Bung Karno mengibaratkan situsi adem ayem ini hanya ada di negerinya “bathara guru” suatu tempat yang hanya ada dalam imajinasi para pemimpi.

Pendiri bangsa menyadari benar bahwa masalah Indonesia tidak akan berhenti setelah proklamasi kemerdekaan. Imperialisme akan kembali dan telah kembali dengan segala macam cara untuk menguasasi negeri ini. Itulah mengapa berkali-kali dalam sebagian besar pidatonya Bung Karno mengatakan wasapada nekolim..sekali lagi waspada nekolim. Itulah mengapa api harus dinyalakan dan semangat perlawanan harus tetap dikobarkan.

Jangan Sampai Bubar

“Media massa yang menggambarkan bahwa seoala-olah negara ini mau bubar”. demikian keluhan SBY menanggapi pemberitaan berbagi media massa dalam beberapa waktu terakhir.

Apa yang menjadi kekuatiran media massa nasional patut di apresiasi, karena memang demikianlah kondisi obyektifnya. Meskipun oleh pemerintahan SBY keadaan tersebut tidak terlihat dikarenakan berbagai keterbatasan pengetahuannya. Itu juga wajar karena SBY juga manusia.

Namun perlu dijelasakn lebih lanjut oleh media massa bahwa negara kesutuan republik Indonesia terancam lenyap eksistensinya secara politik ekonomi dan kebudayaan. Bangsa ini semakin kehilangan supremasinya mengatur dirinya sendiri, kehilangan hak atas kekayaannnya sendiri, dan semakin jauh dari jati dirinya dan terjebak meniru-niru adapt bangsa lain secara membabi buta. Indonesia terancam bubar dalam usianya yang relative muda, 65 tahun.

Seluruh UU dan kebijakan yang lahir di negeri ini dibuat oleh pihak asing. Proses ini berlangsung melalui dua cara yaitu ratifikasi terhadap hasil perundingan dan perjanjian internasional dan diadipsinya berbagai hasil perjanjian tersebut dalam hukum positif nasional secara subversive.

Tanah, kekayaan alam, telah sepenuhnya dibawah control modal asing, lebih dari 175 juta hektar lahan dikuasai oleh penanaman modal besar, dan sebagian besar adalah modal asing. Sebanyak 85 persen kekayaan migas dikuasai asing, 75 persen kekayaan batubara dan perkebunan dikuasasi asing, 100 persen hasil tambang dikontrol modal asing, 60-70 persen kekayaan perbankkan dikuasasi asing. Apa yang didapat oleh bangsa Indonesia hanyalah beban utang yang mencapai 1600 trilun dan kerusakan lingkungan yang secara perlahan-lahan memusnahkan kehidupan di negeri ini.

Diatas dominasi dan ekploitasi bangsa lain, elite politik Indonesia semaki kehilangan kepercayaan diri alias minder. Mereka terjebak dalam pragmatisme, tidak dapat mengeli masalahnya dan menemukan orientasi kebangsaannya. Seperti orang mabuk limbung dalam badai globalisasi.

Meski kondisi bangsa telah sampai pada tingkat yang menghawatirkan, seluruh anggota parlemen dan mereka yang ada dalam birokrasi kekuasaan saat ini jika ditantang melakukan tidakan-tindakan radikal dalam menyelamatkan Indonesia dari ancaman bubar, selalu mengeluarkanstatemen keputusasaan. Tidak tahu, tidak sanggup, kalah. Lalu tanggung jawab ini mau diserahkan pada siapa? Dan mengapa mereka masih disana dan tidak mundur?

Pemuda Ambil Alih

Satu hal yang sangat terasa dalam seluruh proses sejarah yang sebagian dilalui dengan berdarah-darah adalah semangat untuk mendirikan Indonesia yang bebas dari segala belenggu kolonialisme dan imperialisme.

Semangat itu yang tetap terpatri dalam jiwa pemuda-pemuda Indonesia yang selalu memaikan peran penting dalam seluruh proses medirikan negara ini.

Mengapa pemuda? Mengapa bukan kaum bangsawan atau klas menengah seperti Eropa, bukan klas pekerja seperti di Rusia? atau laskar kaum tani seperti dalam pengalaman sejarah bangkitnya China..?

Para pemuda Indonesia telah lahir sebagai suatu entitas sendiri sejak awalnya. Mereka adalah tentara dalam kekeluargaan yang merupakan struktur tertendah dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Keluarga inilah yang selalu berhadapan dengan tekanan, penindasan imperialisme, neoliberalisme dan otortarianisme. Dari keluargaan inilah lahir pemuda, yang setia menjaga keluarga dan negaranya dari segala ancaman penindasan.

Beban sejarah pemuda berubah dalam setiap jamannya. Tidak berkurang namun terus bertambah dari waktu ke waktu. Tugas mendirikan Indonesia merdeka diatas tiga pilar utama, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkerpibadian secara kebudayaan, adalah tugas terberat saat ini. Tugas ini tentu lebih berat dari apa yang pernah diemban oleh angkatan-angkatan sebelumnya. Mengapa demikian? Pemuda tidak hanya berhadapan dengan ganasnya nekolim tapi sekaligus busuknya politik internal.

Namun demikianlah adanya, seperti itulah aturan sejarah. Tugas pemuda hanyalah mengukuti jalannya sejarah. Kerana Indonesia yang merdeka tidaklah dididikan untuk satu hari lamanya atau untuk sewindu lamanya. Indonesia merdeka didirikan untuk selama-lamanya dan hanya pemuda Indonesia yang dapat mengemban tugas ini..!.

Jumat, 20 Agustus 2010

Rokok dan Industrialisasi Nasional

Salamudin Daeng
Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Perdebatan tentang rokok telah melibatkan polemik berkepanjangan dalam beberapa waktu belakangan. Berbagi pihak yang saling berbeda kepentingan mengeluarkan hasil temuan yang berbeda sudut pandang dalam melihat rokok dan segala implikasinya. Namun apapun argumentasi yang dikemukan polemik ini tetaplah merupakan suatu pertarungan dalam rangka perebutan sumber daya dan pasar.

Lalu bagaimanakah kita bangsa Indonesia melihat polemik ini? maka setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana kedudukan rokok terkait dengan industrialisasi nasional dan kedua, kedudukan dalam potret pertarungan perdagangan bebas yang semakin marak dalam beberapa waktu terakhir. Kedua hal tersebut penting dilihat oleh pemerintah dalam rangka merumuskan kebijakan yang tepat dalam memberikan perlakuan terhadap kegiatan perusahaan tembakau dan rokok dalam strategi pembangunan nasional, baik secara ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebelum membedah masalah ini lebih jauh maka ada baiknya kita melihat hal-hal umum yang dihadapi masayarakat dunia saat ini dan bagaimana kaitannya dengan masalah ekonomi politik yang dihadapi rakyat Indonesia.

Arah Perekonomian Dunia
Saat ini, kapitalisme dunia tengah mengalami krisis yang hebat yang menerpa negara-negara yang menjadi induk kapitalisme. Krisis yang pada awalnya melanda AS dan kemudian meluas melanda sekutu-sekutunya yang lain seperti Jepang dan terakhir Uni Eropa.

Krisis ini memiliki dampak yang besar bagi tatanan ekonomi global. Negara-negara yang mengalami krisis akan berusaha mencari sumber-sumber modal dan keuangan dalam rangka mengembalikan stabilitas ekonomi mereka.

Upaya untuk membentuk keseimbangan yang baru dalam perekonomian global akan melibatkan dua hal. Pertama, meningkatkan kontrol negara-negara maju akan sumber daya alam di seluruh penjuru dunia dan kedua, meningkatkan penguasaan atas pasar barang maupun jasa dalam rangka mencari sumber keuangan yang lebih banyak.
Dibentuknya G20 merupakan salah satu strategi dalam rangka penyelesaian krisis global. Forum ini merupakan perluasan dari G8, yang merupakan kelompok negara-negara Industri maju. Namun sekarang dipeluas keanggotaannya menjadi negara dengan PDB terbesar di dunia. Dalam Keanggotaan G20 masuklah Indonesia, India, China dan Brasil untuk mengambil bagian dalam rangka penyelesaian krisis.

Krisis kapitalisme akan menimbulkan tekanan ekonomi bagi Indonesia. Pertama, negara ini akan menjadi sasaran dalam rangka investasi dan penguasaan sumber daya alam oleh modal besar asing. Kedua, Indonesia akan menjadi sasaran ekspansi pasar produk pangan dan industri dari negara-negara maju.

Selain itu, pasca kebuntuan perundingan WTO (2009), Indonesia semakin aktif terlibat dalam berbagai perundingan perdagangan bebas melalui Free Trade Agreement (FTA). Negara ini telah menandatangani ASEAN Charter untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dan melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara seperti China, India, Korea, berikutnya dengan Jepang, Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat (AS).

Celakanya adalah negara-negara yang menjadi pesaing dagang Indonesia tersebut adalah negara-negara yang sangat kuat baik dalam industri maupun pertaniannya. Terkait dengan tembakau misalnya, China adalah negara penghasil tembakau terbesar di dunia yang mencapai 38 persen total produksi dunia, India menduduki urutan ketiga menguasai 8,43 persen tembakau dunia dan AS urutan ke empat menguasai 5,73 persen. Sedangkan Indonesia hanya menghasilkan 2,67 persen tembakau dunia (FAO, 2007).
Akibatnya Indonesia menjadi sasaran impor berbagai kebutuhan, mulai dari besi, baja, oil product dan berbagai produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi lainnya. Tidak hanya itu, akibat didesak pertambangan dan perkebunan skala besar sektor pertanian mengalami kemunduran. Krisis pangan memaksa Indonesia harus mengimpor pangan seperti beras, kedelai, daging, susu, gula dan bahkan impor garam.

Bahkan di tengah semakin intensifnya propaganda anti rokok di dalam negeri ternyata impor tembakau terus meningkat. Pada tahun 2003 impor tembakau sebanyak 29.579 ton, meningkat menjadi 35.171 pada tahun 2004 dan terus bertambah menjadi 48.142 ton pada tahun 2005. Tidak hanya itu, ternyata impor rokok ke Indonesia juga sangat besar yaitu mencapai 520.000 ton per tahun.

Anehnya, pada saat yang sama pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam negeri yang menekan petani tembakau dan produksi rokok melalui kebjakan menaikkan cukai dll., juga berbagai komitmen internasional seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam bentuk pembatasan produksi. Kebjakan semacam ini bersifat diskriminatif, menekan industri dalam negeri satu sisi, tapi mendukung impor pada sisi yang lain.

Fenomena De-Industrialisasi
Dimana Indonesia dalam dinamika pertarungan negara-negara Industri dalam era globalisasi? Negara masih di tempat yang sama, menjadi wilayah tempat pertarungan memperebutkan sumber daya alam gas, batubara, minyak dan hasil kebun. Bahkan sekarang negara-negara industri menjadikan Indonesia sebagai tempat penting dalam mendukung kesejahteraan negara-negara utara yaitu sumber daya alam dan sekaligus pasar bagi produk olahan yang benilai tambah tinggi.

Berbagai UU telah dibuat di Indonesia dengan secara langsung diintervensi oleh lembaga keuangan multilateral, IMF, World bank dan ADB dan pinjaman langsung negara-negara maju melalui pinjaman luar negeri. Mulai dari amandemen UUD 1945 hingga UU sektoral lainnya, seperti migas, sumber daya air, UU penanaman modal dan lain sebagainya. Semuanya untuk satu kepentingan besar yaitu penyerahan kekayaan alam Indonesia kepada korporasi luar negeri untuk diusahakan dalam rangka memenuhi kebutuhan negara-negara maju.

Apa yang menjadi haluan kebijakan Indonesia, setidaknya selama era reformasi adalah suatu proyek dalam rangka penghancuran kekuatan produktif rakyat dan memperparah de-industrialisasi nasional. Akibatnya negera ini mengalami apa yang disebut de-industrialisasi negatif, sebuah gejala de-industrialisasi yang terus menerus sebelum dapat mencapai industrialisasi. (Prof. Ine Minara Ruki, 2007).

Sember daya alam bangsa ini habis diekspor, Indonesia menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Lebih dari 75 persen gas diekspor dalam rangka memenuhi kebutuhan energi negara-negara Industri maju. Sementara di dalam negeri berbagai industri mengalami kebangkrutan akibat tidak mendapat pasokan gas. Demikian pula dengan bahan tambang mineral dan hasil alam lainya diekspor dalam bentuk bahan mentah tanpa proses industrialisasi di dalam negeri.

Sementara Industri nasional yang mau tumbuh mengalami penghancuran secara perlahan-lahan melaui kebijakan yang didukung hutang luar negeri. Proyek liberalisasi pengelolaan migas yang dibiayai oleh Bank Dunia telah terbukti menghancurkan pertamina dan Industri migas nasional seperti yang kita saksikan sekarang ini. Hal yang sama menimpa usaha-usaha yang dikerjakan oleh badan usaha milik negara dari hulu sampai ke hilir perlahan-lahan, lahan dipecah-pecah, dilemahkan, tidak hanya melalui produk perundang-undangan akan tatapi juga melalui berbagai propaganda dan kampanye yang didanai dengan anggaran yang sangat besar. Ini sangat jelas terlihat di belakang seluruh proyek privatisasi PLN dan BUMN lainnya.
Tak terkecuali usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat juga direcoki dengan berbagai isu dan kebijakan. Tampak motifasi utama dari semua kebijakan adalah agar usaha-usaha bangsa Indonesia tidak tumbuh menjadi usaha yang terintegrasi secara kuat dari hulu sampai ke hilir. Sebagai contoh, keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 mengenai kenaikan cukai rokok dinilai oleh Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) menyebabkan bangkrutnya perusahaan rokok. Disebutkan akibat kebijakan tersebut jumlah pabrik rokok di Malang Raya terus menurun dari 114 pabrik pada tahun lalu, kini hanya tersisa sekitar 30 pabrik rokok kecil.

De-industrialisasi menimbulkan dampak semakin langkanya lapangan pekerjaan pada sektor formal dalam industri dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menjamin penghidupan rakyat. Data statistik menyebutkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal mencapai 78 persen dari 104 juta tenaga kerja. Kondisi mereka hampir sama dengan pengangguran penuh yang jumlahnya berkisar antara 9-11 juta jiwa.

Rokok sebagai Industri Terakhir
Terlepas dari berbagai kontroversi yang terjadi dalam masyarakat, harus diakui bahwa rokok merupakan salah satu industri nasional yang tersisa dari sekian banyak industri lainnya yang telah mengalami penghacuran terlebih dahulu. Kegiatan pengusahaan rokok mulai dari hulu sampai ke hilir masih dikerjakan oleh rakyat Indonesia sendiri, sebagian besar diantaranya adalah perusahaan-perusahaan nasional dan kegiatan perdagangannya di dalam negeri telah melibatkan rakyat secara luas.
Seluruh proses produksi rokok mulai dari bahan baku yakni tembakau hingga produk akhir yaitu rokok dikerjakan di dalam negeri. Pada seluruh lini produksi ini dapat dipastikan akan menyerap tenaga kerja dan memberi nilai tambah pada perekonomian.
Berbeda sekali dengan industri lainnya di Indonesia yang sebagian besar adalah industri bernilai tambah rendah dimana sebagian besar komponen bahan bakunya berasal dari impor. Keadaan ini dibuktikan dari statistik impor Indonesia dimana 70 persen lebih adalah impor bahan baku. Sisanya adalah barang modal dan barang konsumsi. Industri yang fully integrated semacam industri rokok lebih membuka peluang bagi penyerapan tenaga kerja yang besar.

Ketua Dewan Pertimbangan HKTI, Siswono Yudhohusodo, tembakau dan industri hasil ikutannya (rokok) selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap ekonomi nasional. "Dari sisi hulu sampai hilirnya, industri tembakau atau rokok menyerap Tenaga Terlibat Langsung (TTL) sebesar 6,1 juta.

Bandingkan dengan industri tambang yang menjadi primadona pemerintah dalam beberapa waktu belakangan hanya menyerap 34 ribu tenaga kerja langsung (ESDM, 2007) . Padahal luas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara saja mencapai 44 juta hektar. Bandingkan dengan lahan untuk pertanian tembakau yang hanya seluas 198 ribu ha (2007). Ini disebabkan kegiatan pertambangan hanya merupakan ekploitasi bahan mentah untuk pasar ekspor dan bernilai tambah rendah secara ekonomi. Sedangkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan sangat besar, bersifat massal dan cenderung tidak terprediksi baik secara ekonomi, dampak lingkungan maupun kesehatan manusia.

Dengan dukungan sumber daya alam khsususnya tanah yang relative kecil, pertanian tembakau menciptakan industry hulu yang luas. Jumlah pabrik rokok yang saat ini telah mencapai 4416 pabrik ( golongan I: 6 pabrik, golongan II: 27 pabrik, golongan III: 106 pabrik, golongan IIIA: 282 pabrik, dan sisanya adalah pabrik golongan III B (2007). Dari total industri rokok tersebut, sebesar 75 persen terdiri dari rokok kretek, sebesar 17,2 persen mild dan 7,7 rokok putih.

Rata-rata penyerapan tenaga kerja industri rokok per perusahaan secara keseluruhan adalah sebesar 765 orang per perusahaan. Industri rokok kretek (31420) yang terdiri dari SKM dan SKT mampu menyerap rata-rata sebesar 851 orang per perusahaan. Industri rokok putih (31430) yang merupakan penghasil rokok putih (SPM) rata-rata per perusahaan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 437 orang, dan industri rokok lainnya rata-rata per perusahaan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 126 orang.
Hanya saja yang perlu dibenahi adalah tingkat upah pekerja yang bekerja pada berbagai industri rokok yang masih berada dibawah rata-rata upa pekerja sektor lainnya, seperti makanan dan minuman, pakaian jadi, logam dll. Rata-rata upah sektor tembakau atau rokok menurut data BPS menurun dari Rp 807.6 ribu pada desember 2007 menjadi Rp 770.1 ribu pada September 2009.

Sementara dari sisi penerimaan negara, industri ini menyumbangkan pendapatan yang cukup besar. Direktur Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Frans Rupang di Denpasar, Kamis (14/1/2010) menyatakan cukai dari produksi seluruh pabrik rokok berdasarkan tingkat produksi totalnya sepanjang tahun lalu mampu menghasilkan Rp 56,4 triliun sebagai penerimaan negara.

Selanjutnya, rantai perdagangan rokok dikerjakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, bahkan sebagian besar diantaranya adalah informal sector seperti pedagang kaki lima, warung-warung kopi dan lain sebagainya. Industri juga menciptakan multiflier effect baik dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat di luar industri tersebut. Efek ganda ini diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan apa yang dihasilkan dalam rantai produksi industri ini.

Kesimpulan
Fakta –fakta di atas menggambarkan kepada kita bahwa isu pembatasan, rokok haram dan berbagai restriksi tentang tembakau dan rokok harus dilihat secara ekonomi politik, baik sebab maupun dampak-dampaknya. Keberadaan rokok tidak dapat dipandang dari isu kesehatan semata.

Berbagai perundingan internasional baik yang secara langsung berkaitan dengan tembakau dan rokok maupun yang berhubungan dengan investasi dan perdagangan secara keseluruhan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mutlak harus diwaspadai oleh masyarakat. Banyaknya utang dan komitmen bantuan dana dari luar negeri di belakang semua perjanjian internasional, termasuk agreement tentang rokok menjadi penyebab masuknya berbagai agenda asing dalam produk UU dan kebijakan nasional.

Selain itu, isu anti rokok yang semakin intensif tepat pada saat agenda liberalisasi perdagangan (free trade agreement) semakin marak, tampaknya berpotensi merugikan ekonomi dalam negeri, dikarenakan negara-negara yang menjadi pesaing dagang utama Indonesia dalam perdagangan internasional adalah negara-negara yang merupakan produsen tembakau cukup besar. Ada kecenderungan bahwa upaya pelemahan industri rokok nasional adalah bagian dari upaya untuk mendukung impor rokok dari luar negeri.

Semestinya jika pemerintah hendak membatasi rokok dan juga mengurangi industrinya maka harus diringi dengan upaya untuk menyediakan alternatif industri nasional lainnya yang kuat dan sanggup menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi masyarakat. Sepanjang hal tersebut belum dapat dilakukan pemerintah maka tidak ada alasan untuk menjalankan kebijakan tersebut karena sama saja dengan menghancurkan sumber pekerjaan dan penghidupan rakyat…

Ekonomi Kriminal

Masalah yang paling berat yang dihadapi oleh rakyat Indonesia saat ini adalah menghadapi pemerintahan SBY-Boediono yang saban hari membuat masalah, mengacaukan situasi, melakukan terror ekonomi, memicu instabilitas, ketidakpastian, yang kesemuanya lebih dari sekedar kesalahan dalam menggunakan mashab ekonomi mainstream tetapi lebih jauh merupakan bentuk-bentuk ekonomi kriminal.

Pandangan ini cukup beralasan jika melihat cara pemerintah baik dalam memproses dan menetapkan suatu kebijakan. Pada tahap tersebut sangat tampak sifat-sifat kriminal dalam strategi yang digunakan.

Ciri dari ekonomi kriminal tersebut adalah ; pertama, sejak awal niat dari kebijakan memang ditujukan untuk menjahati/mencurangi rakyat dan menguntungkan segelintir penguasa dan elite penguasa, kedua, proses pengambilan keputusan tidak melalui konsultasi publik yang luas dan sama sekali tidak memperhatikan kondisi obyektif yang dihadapi masyarakat, ketiga, pelaksanaan kebijakan yang terburu-buru menimbulkan peluang korupsi yang besar dan rencana korupsi tampaknya merupakan bagian dari tujuan kebijakan dan keempat, implikasi dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan menimbulkan kerusakan ekonomi dan penderitaan rakyat yang tiada habis-habisnya.

Belajar dari kebijakan kebijan konversi minyak tanah ke gas, ciri ekonomi kriminal terlihat dari; pertama ; motif dasar kebijakan konversi minyak tanah ke gas adalah agar pemerintah dapat menaikkan harga BBM untuk memberi keuntungan pada pebisnis BBM, kedua, kebijakan konversi tersebut sekaligus memberi keutungan kepada para pebisnis gas, tabung gas, yang notabene adalah mereka yang memiliki kedekatan dengan penguasa, ketiga, proses pengambilan keputusan yang terburu-buru memberi keuntungan pada penguasa yang cenderung korup dikarenakan publik tidak memiliki kesempatan mengawasi secara ketat dan keempat, publik harus menerima dampak kerusakan dari kebijakan ini yaitu meningkatnya harga-harga akibat kenaikan BBM dan meledaknya tabung-tabung gas di rumah-rumah penduduk akibat kualitas tabung dan perangkatnya yang buruk dikarenakan praktek pengadaannya yang terindikasi korup.

Demikian pula motif dibalik kebijakan menaikkan harga TDL juli 2010 lalu, kebijakan ini tampaknya memiliki sebab dan akan menimbulkan implikasi yang sama. Tampak niat jahat pemerintah untuk mencari keuntungan dari rakyat dengan menyerahkan PLN kepada pihak swasta dibalik kebijakan ini. Kebijakan yang hendak dilaksanakan secara tiba-tiba ini terindikasi penuh dengan sogok, suap dari calon investor listrik. Juga tidak menutup kemungkinan memecah belah PLN dalam skema privatsiasi akan menimbulkan kerusakan seperti kebakaran rumah-rumah penduduk. Pada ahirnya sama seperti ledakan tabung gas, namun tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab dalam masalah ini.

Patut pula dicurigai kebijakan pemerintah yang hendak melakukan redenominasi mata uang, motif dasar dibalik kebijakan tersebut adalah jelas untuk menurunkan nilai tukar masyarakat, menutup-nutupi phenomena inflasi atau kenaikan harga-harga yang selalu terjadi dalam jumlah yang sangat besar dari tahun ke tahun. Kebijakan ini tampaknya ditujukan untuk pengadaan proyek benilai triliunan rupiah bagi pencetakan uang bagi pengusaha swasta yang memiliki kedekatan dengan BI. Juga tidak menutup kemungkinan proyek pengadaan uang baru akan melahirkan korupsi yang luas, apalagi jika dilaksanakan menjelang pemilu 2014 mendatang, maka akan sangat berpotensi digunakan untuk melanggengkan supremasi keluarga kroni Cikeas. Selanjutnya kebijakan ini pun nantinya akan menciptakan tekanan dan kerusakan ekonomi yang parah pada level rakyat.

Sehingga boleh dikatakan pola kebijakan pemerintah tersebut diatas bukan sekedar kejahatan ekonomi biasa terjadi secara sektoral, akan tetapi lebih merupakan ekonomi kriminal dikarenakan meliputi seluruh aspek ekonomi, mulai niat, logika pembenarannya yang mengacu pada kapitalisme, praktek pelaksanaan yang korup dan dampak ahirnya yang sangat merusak.



Akar Masalah

Seluruh bentuk ekonomi kriminal bersumber dari melencengnya idielogi ekonomi dari konstitusi. Kebijakan tidak lagi menggunakan mashab Pancasila dan UUD 1945 dalam memecahkan masalah ekonomi. Pemerintah cenderung pada mashab neoliberalisme dalam membenarkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya merugikan rakyat. Spirit awal dari kebijakan jelas untuk mencurangi rakyat.

Peratuturan dan kebijakan negara meniru, mengadopsi dan mensyahkan aturan internasional dari badan dunia seperti PBB, WTO, G-20, ASEAN, secara membabi buta tanpa mempertimbangkan kondisi obyektif nasional. Padahal organisasi multilateral tersebut adalah kaki tangan para penguasaha dan penguasa negara-negara maju. Sehingga seluruh kesepakatan yang dihasilkan tentu saja dalam mendukung kepentingan negara-negara industri maju.

Sebagai contoh keluarnya kebijakan tentang daftar negative investasi (DNI) melalui perpres 36 Tahun 2010 yang secara bersamaan dengan wacana redenominasi mata uang rupiah, merupakan kebijakan dalam rangka ASEAN Economic Community dalam skema regionalisme ASEAN. Tentu saja kebijakan ini ditujukan untuk menyerahkan sumber daya dan pasar Indonesia bersama negara anggota ASEAN kepada negara-negara maju, Eropa, Jepang, AS.

Sikap dan tidakan pemerintah yang mengabdi pada kapitalisme dan negara maju tersebut dilakukan dalam rangka untuk mengemis dan menghiba utang luar negeri sebagai sumber untuk membiayai kekuasaan. Kebiasaan mengemis utang ini telah meracuni dan merusak mental seluruh elite penguasa. lebih parah lagi setiap perolehan utang dianggap menjadi prestasi.

Akibatnya, kesepakatan internasional masuk dalam hukum positif nasional, undang-undang sektoral dan kebijakan nasional lainnya secara subversive. Dengan demikian maka pemerintah memiliki landasan yang sah dalam melakukan pencabutan subsidi, impor pangan, penjualan aset negara, mengobral kekayaan alam pada pihak asing. Akibatnya kekayaan nasional sama sekali tidak dapat didayagunakan untuk memperbaiki kondisi rakyat. Justru kekayaan nasional yang besar menjadi bencana bagi rakyat.



Kebijakan yang Kejam

Kebijakan diambil cenderung berdasarkan interest pribadi penguasa, kelompok dan golongan orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa dengan niat tidak baik kepada rakyat. Hasil dari semua kebijakan tentu saja menguntungkan aktor-aktor asing dan kolaboratornya di dalam negeri dalam rangka mengeruk uang dari rakyat. Parahnya kebijakan untuk sekedar mengeruk uang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Saban hari pemerintah selalu mengintip keuntungan apa yang mungkin ditarik dari persoalan yang dihadapi rakyat. Setiap kesempatan akan digunakan dengan baik tanpa peduli rakyat tengah berhadapan dengan situasi yang sulit. Misalnya pada momen dimana kebutuhan rakyat akan barang dan jasa seperti pada Bulan Puasa, Lebaran, Natal dan hari besar keagamaan lainnya, pemerintah selalu membuat kebijakan yang memicu kenaikan harga-harga. Hal ini dilakukan agar para pengusaha asing, importir bahan pokok dan kapitalis nasional yang menjadi kolaborator pemerintah dapat mengeruk keuntungan yang besar.

Pemerintah selalu memutuskan kebijakan yang membahayakan rakyat sebagai cara untuk mencari proyek berikutnya. Dalam kasus ledakan tabung gas, pemerintah dan pengusaha justru mengambil untung atas situasi ini. Proyek pertama untuk mengatasi ledakan adalah penarikan tabung yang bermasalah dan menggantikan dengan tabung baru. Ini sama halnya dengan proyek penyelamatan korban lumpur lapindo, dengan terlebih dahulu mangatakan bahwa semburan gas yang masih berlangsung hingga saat sebagai bencana. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan trilunan uang untuk mengatasi lumpur. Lagi-lagi penguasa dan pemerintah mengambil untuk dari bencana yang diciptakan sendiri.

Tidak hanya itu, bahkan dalam proses atas nama penyelematan rakyat akibat korban kebijakan, penguasa dari pusat sampai daerah kembali tak henti-hentinya melakukan perampokan uang rakyat. Ini dapat dilihat dalam proses korupsi dana bencana alam, dana bantuan social, dll. Istana kepresidenan, kepolisian, kejaksaaan, gubernur, bupati menjadi sarang penyamun, menjelma menjadi parasit yang menggerus kekayaan negara.

Secara keseluruhan penyelenggaraan ekonomi tidak lebih dari paket perbuatan kriminal yang dikerjakan secara bersama-sama oleh pemerintah bersama pengusaha asing dan nasional untuk mengeruk untung dengan cara-cara yang semakin tidak beradab. Ekonomi kriminal semacam ini telah menjadi definisi baku pembangunan Indonesia.